Bertempat di Ruang Seminar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret, Rabu, 21 Desember 2016 telah terselenggara acara Visiting World Class Professor bersama Dr Zulfan Tadjoeddin. Acara yang dimulai pukul 10.00-12.30 WIB ini diikuti oleh para akademisi dan sivitas akademik FISIP UNS.
Dr Zulfan Tadjoeddin menyampaikan materi tentang bagaimana posisi Indonesia Indonesia saat ini , apakah berada dalam zona Negara yang bergejolak atau Negara damai. Menurut Beliau pertanyaan ini memberi pekerjaan rumah para akademisi dalam berbagai bidang keilmuan dan kepakaran karena bisa menjadi data menarik untuk dikaji lebih mendalam. Bila Indonesia dilihat sebagai Negara yang bergejolak dari mana sisi pandangnya dan bila Indonesia termasuk Negara damai dilihat dari mana pula.
Dr. Tadjoeddin menambahkan kekerasan social yang terjadi saat ini bisa jadi disebabkan karena adanya intoleransi diantara masyarakat bukan karena sentiment agama dan ras tertentu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Tadjoeddin, kekerasan social yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah instrument yang membungkus intoleransi itu sendiri dimana akar yang sebenarnya adalah karena adanya kesenjangan dalam faktor ekonomi dan politik khususnya. Beliau mencontohkan beberapa daerah yang sudah menerapkan desentralisasi seperti Aceh, Maluku dan Papua lewat pemekaran wilayah yang berdampak otonomi khususnya dalam mengelola perekonomian serta kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola daerah masing-masing sudah tidak terdengar lagi permasalahan tentang intoleransi ini.
baca : Visiting World Class Professor
Dari pergerakan social ini terdapat agenda dasar penyebab terjadinya pergolakkan, Tadjoeddin menyampaikan tiga agenda dasar tersebut yaitu karena adanya alasan kekerasan dan transisi demokrasi misalnya sentiment ras , adanya faktor sejarah yang menyebabkan terjadinya interpretasi yang berbeda pada setiap orang terhadap sejarah itu sendiri serta adanya ketidakcocokan budaya diantara masyarakat Indonesia sendiri yang terkenal sangat berbhineka. Ketiga Hal ini bisa diselesaikan lewat pemahaman akan makna intoleransi serta pengertian dan pemahaman akan demokrasi yang menyeluruh.(Maryani FISIP UNS)