Program Studi Hubungan Internasional FISIP UNS bersama Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (Himaters) menyelenggarakan kuliah pakar dan bedah buku berjudul “Kekerasan Ekstrem Belanda Di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949” dengan mengundang narasumber sekaligus penulis buku yang juga sejarawan Swiss-Belanda Dr. Remy Limpach, bekerja sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kegiatan kuliah pakar Prodi Hubungan Internasional ini dilaksanakan Rabu, 9 Oktober 2019, mulai pukul 13:30-15:30 WIB di Aula FISIP UNS dihadiri lebih dari 200 peserta yang berasal dari kalangan akademisi maupun mahasiswa dan dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan FISIP UNS, Dr. Ahmad Zuber, S.Sos, DEA.
Dalam paparannya Dr. Remy Limpach menyampaikan bahwa buku membahas tentang tindakan ekstrem Belanda yang didasarkan pada empat studi kasus, yakni kekerasan menurut bentuknya, upaya untuk menutupi, penghukuman, serta motifnya. Buku ini juga memberikan pembelajaran terkait peran militer Belanda di Indonesia yang melakukan tindakan kekerasan yang bersifat ekstrem yang bukan saja merupakan kejadian incidental tetapi juga disebabkan karena adanya aksi kekerasan ekstrem yang sistematis dan terstruktur. Buku ini memberikan pembuktian terbalik tentang perang Belanda-Indonesia, penyebab, dan pertanggung jawaban atas tindak kekerasan massal oleh Belanda. Buku ini juga merupakan hasil penulisan ulang terhadap disertasi yang diterbitkan pada 2016 dengan judul De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (Pembakaran Kampung oleh Jenderal Spoor) yang juga diterbitkan pada 2016.
Dalam kata sambutannya Kepala Prodi Hubungan Internasional FISIP UNS, Drs. Agung Satyawan, S.E,M.Si,Ph.D menyampaikan bahwa kuliah pakar dengan narasumber pakar dari luar negeri ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai pentingnya mengetahui sejarah bangsa Indonesia dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia sehingga nantinya generasi muda mampu berfikir kritis serta mewarnai kemerdekaan dengan hal-hal yang positif. agar mahasiswa lebih kritis. (Maryani FISIP UNS)